Benarkah SBY Membangun Citra di Atas Fondasi Kebobrokan?

IRIB-Belum apa-apa terbongkar sudah kebobobrokan di balik pencitraan yang hendak terus dibangun Presiden SBY ketika melakukan perombakan kabinetnya baru-baru ini (18 Oktober 2011).
Durasi waktu proses pengambilan keputusan untuk menentukan hasil akhir perombakan kabinet tersebut yang selama satu bulan lebih dan hiruk-pikuknya itu terasa sia-sia dengan terbongkarnya dua hal sekaligus.
Sebelumnya dengan berlagak seperti seorang pemimpin yang sangat menghormati hukum dan demi kebersihan kabinetnya dari orang-orang bermasalah, SBY pun mencopot Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Informasi resmi dari Istana mengatakan, SBY di menit-menit terakhir mendapatkan kabar bahwa Fadel sedang bermasalah karena terkait sebuah kasus pertanahan. Oleh karena itu Presiden SBY memutuskan tidak lagi memakai Fadel sebagai pembantunya di kabinet.
Sebuah alasan yang sebenarnya patut dipertanyakan di saat itu juga. Karena pada waktu itu juga sebenarnya ada dua menteri dikabinet SBY itu yang juga bermasalah, tetapi tetap dipertahankan. Yakni, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar.
Kedua orang menteri ini sama-sama diduga terkait dengan kasus suap di masing-masing Kementeriannya. Kasus-kasus tersebut sedang dalam proses pemeriksaan oleh KPK sampai sekarang.
Sedangkan alasan Presiden SBY tetap mempertahankan dua orang ini adalah karena katanya, mereka dua belum tentu bersalah. Sampai saat itu juga hanya berstatus sebagai saksi di KPK. Nanti, kalau dalam perkembangan perkara, status mereka ditingkatkan menjadi tersangka, maka Presiden SBY akan menggantikan mereka.
Lihatlah, bukankah ini sungguh-sungguh suatu keputusan yang teramat sangat dobel standar?
Bukankah status Andi Mallarangeng, Muhaminin Iskandar, dan Fadel Muhammad – jika benar ada kasus pertanahan itu, sebenarnya sama saja? Tiga-tiganya terkait kasus hukum, meskipun belum tentu bersalah. Bahkan status Fadel sebenarnya masih lebih baik daripada Andi dan Muhaimin. Karena dia sama sekali belum masuk dalam suatu proses perkara apapun. Belum diperiksa oleh siapa pun dan dalam status apapun. Apakah benar kasus itu ada ataukah tidak, juga belum jelas. Sedangkan Andi dan Muhaimin?
Belum genap satu bulan kabinet hasil perombakan bekerja, Majalah TEMPO membongkar fakta. Bahwa ternyata ada dua orang menteri hasil perombakan kabinet saat ini yang sedang bermasalah dengan hukum.
Yang pertama, adalah Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, dan yang kedua adalah Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz.
Amir Syamsuddin diduga terlibat dalam kasus mafia peradilan dalam perkara D.L. Sitorus, pengusaha hutan, yang terjerat kasus hukum pada 2005. Amir waktu itu adalah penasihat hukum D.L. Sitorus.
Pada waktu itu D.L. Sitorus dituduh merampas tanpa hak 80 ribu hektar tanah negara di Padang Lawas Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan cara mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Di Pengadilan Negeri D.L. Sitorus kalah, divonis 8 tahun penjara. Sitorus kemudian menggugat Menteri Kehutanan yang mencabut izin penguasaan lahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Padahal Menteri Kehutanan waktu MS Kaban mencabut izin tersebut berdasarkan keputusan pengadilan negeri yang mengvonis bersalah kepada Sitorus.
Di PTUN inilah diduga kuat telah terjadi praktek mafia hukum, berupa uang sogokan yang besarnya mencapai lebih dari Rp 140 miliar yang mengalir ke petinggi Mahkamah Agung untuk mempengaruhi putusan Peninjauan Kembali (PK). Uang sogok inilah yang diduga mengalir melalui Amir Syamsuddin. Ada dokumen-dokumen pendukung yang didapat majalah TEMPO yang memperkuat dugaan keterlibatan Amir Syamsuddin itu.
TEMPO menulis, mustahil SBY tidak tahu adanya skandal ini. Karena dua tahun yang lalu skandal ini sudah dilaporkan kepada Satgas Mafia Hukum dan KPK.
Halmana juga menimbulkan tandatanya kenapa KPK tidak juga mau bergerak? Apakah dengan demikian semakin kuat sinyalemen bahwa KPK selalu tak berdaya ketika pelaku kejahatan korupsi itu berada di lingkaran dalam penguasa?
Aneh juga rasanya, pengakuan Denny Indrayana, anggota Satgas Mafia Hukum bahwa dia lupa, apakah kasus tersebut pernah dilaporkan ataukah tidak kepada Satgas.
Aneh, karena, apakah mungkin Denny yang sekarang diangkat SBY merangkap menjadi Wakil Menteri Kehakiman dan HAM (wakilnya Amir Syamsuddin) itu bisa lupa kalau ada nama besar Amir Syamsuddin yang dilaporkan itu? Apakah mungkin Denny bisa lupa, kalau kasus ini sebenarnya telah direkomendasikan oleh Satgas Mafia Hukum yang suratnya ditandatangani Ketua Satgas Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto kepada KPK agar diusut? Jangan-jangan Denny terkena penyakit lupa karena dia adalah Wakil Menteri, bawahannya Amir?
Dengan memakai alasan Presdien SBY mencopot Fadel Muhammad, apakah masuk akal kalau SBY malah memilih Amir Syamsuddin sebagai menterinya? Menteri Hukum, kok bermasalah dengan hukum? Lantai kotor jelas tidak bisa dibersihkan dengan sapu kotor.
Sedangkan untuk Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, tersangkut kasus perjanjian kerjama antara perusahaannya, PT Priamanaya Djan Internasional dengan PD Pasar Jaya, dalam mengelola Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta. Dalam perjanjian kontrak tersebut diduga ada banyak ketidakberesan, karena isi kontrak yang sangat berat sebelah, dengan merugikan pihak pemerintah DKI sebagai pemilik Pasar Tanah Abang yang diwakili oleh PD Pasar Jaya.
Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis mengatakan bahwa dari kontrak yang diteken para pendahulunya merugikan korporasi sedikitnya Rp 300 miliar, dari tahun 2008 – 2010.
Sebagai tindaklanjutnya Djangga menghentikan kerja sama tersebut secara sepihak. Menunggu direvisi kontrak tersebut sehingga menjadi proporsional. Dengan tetap meminta pihak yang berwenang mengusut kasus tersebut.
Perusahaan milik Djan Faridz ini menandatangani kerjasama dengan PD Pasar Djaya, membangun Blok A Pasar Tanah Abang yang terbakar pada 2003, dengan sistem build, operate, and transfer.
Pasar tersebut sejak 2007 dikelola PT Priamanaya Kelola, di bawah bendera Priamanaya Group, perusahaan milik Djan Faridz.
Ada sedikitnya dua klausul utama yang jelas-jelas sangat merugikan Pasar Jaya, yaitu:
1. Klausul kontrak kerja sama itu: menyebutkan Blok A akan diserahkan ke Pasar Jaya jika telah terjual 95%. Faktanya, Priamanaya sengaja mematok harga jual terlampau mahal, sehingga kios-kiositu tidak laku-laku meskipun telah lewat 3 tahun. Pengguna kios-kios itu cenderung lebih memilih menyewa saja. Alhasil syarat 95 persen itu tak kunjung, bahkan tidak mungkin tercapai.
Siapa yang membuat klasul yang tidak mengandung kepastian hukum dan gampang diakali itu? Kelihatannya klausul ini memang sengaja dibuat agar bisa diakali seperti yang sudah dilakukan pihak Priamanaya itu.
Seharusnya ada disebutkan batas waktu tanggalnya dan disebutkan bahwa pihak Priamanaya dalam menentukan harga jual kios-kios wajib memperhatikan harga pasaran yang berlaku pada waktu pemasaran dilakukan.
2. Adendum kontrak pun berubah-ubah sampai lima kali. Yang semakin merugikan pihak Pasar Jaya. Semula bagi hasil berdasarkan pendapatan kotor, tapi dalam perubahan kelima berubah menjadi berdasarkan pendapatan bersih setelah dipotong biaya dan pajak.
Dari terjadinya perubahan isi kontrak sampai 5 kali dalam tempo hanya sekitar 2 tahun ini saja sudah merupakan hal yang sangat tidak lazim. Patut dicurigai ada kongkalikong di dalamnya.
Selain itu pihak Priamanaya mengaku bahwa perusahaannya belum untung. Masih rugi. Kenyataannya, hasil audit BPKP yang mengevaluasi proyek itu tahun lalu, menghasilkan bahwa Priamanaya telah menjual 3.155 unit atau 40,2 persen dari total 7.842 kios pada 2009, sehingga menerima Rp. 1,45 triliun. Sedangkan nilaiproyek tersebut adalah sebesar Rp. 917,5 miliar. Artinya, sebenarnya Priamanaya sudah untung. Kenapa mengaku masih rugi?
Selain pokok masalah antara PD Pasar Jaya dengan Priamanaya itu, sebetulnya ada satu hal yang juga mengusik tanya kita. Yakni, mengenai status Basrief Arief, Jaksa Agung saat ini dalam perkara ini.
Sebelum menjadi Jaksa Agung, Basrief Arief adalah konsultan hukum dari kantor hukum SH&R yang disewa Priamanaya untuk melawan PD Pasar Jaya.
Entah kebetulan ataukah tidak, tulis majalah TEMPO, setelah Basrief Arief menjadi Jaksa Agung, tiba-tiba Djangga diperiksa aparat kejaksaan. Pada 16 Agustus 2011, para jaksa memeriksa Djangga dari pagi hari sampai dengan petang hari. Djangga dituding terlibat korupsi dalam perjanjiankerjasama dengan Priamanaya. Belakangan para penyidik itu kaget sendiri, karena ternyata justru Djangga bermaksud menyelamatkan aset pemerintah daerah Jakarta.
Djan Faridz, sang Menteri Perumahan, ketika dikonfirmasi TEMPO, mengelak dengan alasan klasik pejabat merangkap pengusaha. Bahwa dia sudah tidak duduk dalam kepengurusan Priamanaya lagi sejak berkecimpung di duniapolitik. Oleh karena itu masalah tersebut sudah bukan urusannya lagi.
Padahal perjanjian kerjasama itu diteken oleh dia sendiri sebagai Direktur Utama PT Priamanaya Djan International, bersama dengan Direktur Utama PD Pasar Jaya saat itu Prabowo Soenirman, pada 20 Oktober 2003. Artinya dia juga turut sepakat adanya klausul-klausul tersebut. Dia patut mengerti bahwa klasul-klasul tersebut sangat tidak lazim, sangat berat sebelah, dan hanya menguntungkan perusahaannya secara sepihak.
Seandainya saja, dia sebelumnya belum tahu adanya klasul-klausul yang hanya merugikan pihak PD Pasar Jaya tersebut, sekarang dengan dia sudah tahu, seharusnya segera meminta kepada jajaran direksi di perusahaannya itu agar memenuhi kehendak Pasar Jaya untuk melakukan revisi kontrak agar terjadi keseimbangan di antara keduabelah pihak, berikut kompensasi kerugian yang diderita Pasar Jaya selama ini. Bukan malah mengelak dari tanggung jawab, dan membiarkankan Priamanaya melawan.
Lebih pantas lagi, seperti yang sudah dilakukan Djangga Lubis adalah mengehentikan secara sepihak perjanjian kerjasama itu. Bukan hanya sementara saja, tetapi selamanya. Pasar Jaya mencari rekanan lain yang lebih beritikad baik.
Sedangkan kasus yang telah telanjur terjadi itu tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Harus segera diusut tuntas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dari kejadianini pula jelaslah bahwa sesungguhnya Djan Faridz yang telah diangkat Presdien SBY sebagai Menteri Perumahan itu termasuk juga orang yang bermasalah dengan hukum. Seperti juga Amir Syamsuddin.
Tapi, kenapa SBY tetap mengangkat mereka sebagai menteri, sedangkan Fadel Muhammad yang belum jelas sebenarnya ada berperkara ataukah tidak, malah dicopot begitu saja.
Okelah sekarang, taruhlah tempo hari itu entah kenapa, SBY tidak tahu tentang dua menterinya yang bermasalah ini, tapi sekarang apakah masih mau pakai alasan tidak tahu lagi? Setelah media massa termasuk televisi menyiarkannya?
Jangan lupa, publik juga tidak lupa tentang kebijakan “dobel standar” Presiden SBY yang tetap memakai Andi Malarangeng dan Muhaimin Iskandar sebagai menteri di kabinetnya. Tidakusah heran kalau kabinetnya akan terus bermasalah. Bagaimana bisa tidak demikian, kalau menteri-menteri sendiri bermasalah.
Dari kasus-kasus ini semakin kuat persepsi publik bahwa sesungguhnya SBY tidak pernah sungguh-sungguh dalam membersihkan kabinetnya dari orang-orang bermasalah, tidak pernah serius daklam upaya penegakan hukum. Semua itu dikalahkan kepentingan SBY dalam membangun citra dan kepentingan politik pragmatisnya. Saking bersemangatnya membangun citra, SBY seolah tidak sadar dia selama ini telah dan terus membangun citra politiknya itu di atas fondasi kebobrokan.
Siapa yang percaya Amir Syamsuddin sebagai Menteri Hukum dan HAM bisa bekerja profesional ketika kader-kader Partai Demokrat ditimpa masalah hukum? Sementara Menteri Hukumnya sendiri adalah juga orang Demokrat.
Semakin SBY berupaya membangun citra, semakin turun citranya di mata publik. Karena yang dia bangun itu berada di atas sampah-sampah masyarakat berjubah elit. (IRIB Indonesia/Kompasiana)

Leave a comment